Merawat Tulang Punggung Demokrasi Melalui Pemutakhiran Data Partai Politik Berkelanjutan

Oleh: Robingul Ahsan

Anggota KPU Kabupaten Wonosobo

Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu 

Derajat kualitas demokrasi tidak melulu diukur dari pemungutan suara, tetapi juga dari kualitas arsitektur partai politik yang menjadi mesin utama kompetisi politik. Partai politik yang jernih ditopang data yang bersih, sehingga keandalan data partai politik ini menjadi tolok ukur sehatnya demokrasi dalam skala yang lebih luas. Namun sayangnya, proses ini jarang digarap dengan sungguh-sungguh. 

Seturut PKPU Nomor 4 Tahun 2022, KPU memberi ruang bagi partai untuk memperbarui data kepengurusan, kantor, hingga keanggotaan secara berkelanjutan. Semua disiapkan melalui Sipol, sistem digital yang dirancang agar partai bisa merawat “tulang punggung” organisasinya setiap saat secara berkelanjutan, tidak hanya menjelang Pemilu.

Tetapi mari kita jujur, hanya sedikit partai politik yang benar-benar menganggap pemutakhiran data sebagai kewajiban moral dan organisatoris. Sebagian besar baru bergerak ketika tahapan verifikasi formal menjelang pendaftaran peserta pemilu. Selebihnya, sistem dibiarkan menganggur, padahal regulasinya sudah jelas, pembaruan dilakukan dalam dua kondisi; secara berkala dan atas permintaan partai. Hasilnya diserahkan ke KPU di tingkatan masing-masing dua kali setahun.

Ketika Kewajiban Formal Tak Dibarengi Kesadaran Organisasi

PKPU 4/2022 Pasal 146 memberi landasan kuat: partai politik dapat melakukan pemutakhiran data secara berkelanjutan. Tetapi dalam praktiknya, kata “dapat” ini kerap dimaknai sebagai “tidak wajib”. Itulah persoalan pertama.

Padahal dalam ilmu sosiologi politik, partai politik tidak hanya dianggap mesin elektoral saja. Ia adalah organisasi sosial yang memerlukan perawatan data agar dapat bekerja secara demokratis: memastikan kader hidup, kepengurusan berjalan, dan struktur tidak hanya termaktub di atas kertas.

Ketika partai politik tidak memperbarui datanya, kader yang sudah keluar masih tercatat aktif, kantor yang telah pindah masih muncul sebagai alamat resmi, struktur kepengurusan tidak mencerminkan realitas lapangan. Dalam jangka panjang, data yang kotor tersebut menciptakan defisit legitimasi internal. Sebuah keadaan manakala data internal tidak bisa diandalkan yang kemudian memiliki konsekuensi sosial; menurunnya tingkat kepercayaan publik.

KPU adalah Jembatan Data, Bukan Penjaga Rumah Tangga Partai

Di sinilah acapkali terjadi salah kaprah. Banyak pihak menganggap KPU-lah yang bertugas memeriksa benar-tidaknya keanggotaan partai secara terus-menerus. Padahal regulasi membatasi tegas: verifikasi faktual keanggotaan hanya dilakukan ketika tahapan pendaftaran peserta pemilu dimulai.

Di luar itu, KPU tidak memiliki kewenangan untuk mendatangi anggota satu per satu, mengecek kantor partai tiap bulan, menilai validitas internal partai. Tugas KPU hanyalah menyediakan sistem, menerima pemutakhiran, dan mengadministrasikannya. Karena itu, jika ada partai yang abai memperbarui data, sejatinya kegagalan itu tidak bisa dilimpahkan pada KPU, ketidaksadaran partai merawat dirinya sebagai lembaga politik yang sehatlah yang menjadi faktor paling besar. 

Dalam bahasa lain, partai politik yang tidak memperbarui data menunjukkan budaya kelembagaan yang lemah: struktur ada, tetapi tidak sungguh-sungguh hidup. Singkatnya, keengganan melaporkan dan memutakhirkan data internal partai politik berdampak kerugian pada partai politik tersebut.

KPU Hanya Menerima Empat Pemutakhiran

Di banyak daerah, termasuk Wonosobo, kami sering mendapati fenomena berulang: dari sekian partai politik yang terdaftar, hanya 3–4 partai yang rutin memperbarui data. Sisanya pasif, bahkan tidak menggubris surat pemberitahuan yang dikirim secara berkala. Ada beberapa penjelasan yang mungkin menggambarkan realitas di lapangan yang terjadi:

Pertama, Partai bersifat elitis dan terpusat. Pengurus daerah sering bergantung pada instruksi pusat; tanpa perintah, mereka tidak bergerak. Kedua, Keterbatasan kapasitas digital. Tidak semua pengurus daerah familiar dengan Sipol. Ketiga, Budaya birokrasi minimalis. Mengurus data dianggap beban administratif, bukan sebagai sebuah investasi organisasi jangka panjang yang di kemudian hari akan memberikan surplus pada partai politik mereka sendiri.

Tapi alasan paling penting yang kebanyakan orang akan sepakat adalah pemutakhiran data tidak memberikan hadiah elektoral secara langsung. Karena tidak memberikan sumbangsih nyata pada suara atau kursi, banyak partai politik memandangnya sebagai urusan pinggiran. Padahal jika ditelisik lebih dalam, dampaknya krusial untuk kredibilitas  partai politik sebagai tulang punggung demokrasi. 

Data partai politik menjadi dasar untuk memastikan pemilih mendapat informasi akurat tentang kepengurusan partai, memastikan partai memiliki basis kader yang jelas, mempermudah penyelesaian konflik internal, menghindari sengketa ketika pendaftaran peserta pemilu, memperkuat tata kelola demokrasi lokal. 

Dalam konteks lebih luas, pemutakhiran data adalah barometer kesehatan partai. Partai yang serius melakukan pembaruan data biasanya juga memiliki organisasi yang lebih rapi, agenda politik yang jelas, dan kepemimpinan yang lebih stabil.

Mengapa Pemutakhiran Data Harus Menjadi Budaya, Bukan Kewajiban Administratif

Pemutakhiran data partai politik pada dasarnya merupakan praktik pembiasaan (habituation) dalam organisasi. Ia hanya akan berhasil dalam tiga syarat. Pertama, dianggap penting. Kedua, menjadi bagian dari rutinitas. Terakhir, dipahami sebagai tanggung jawab moral internal.

Ekosistem pemutakhiran data partai politik sudah disediakan. PKPU telah memberi kerangka regulasi, Sipol menyediakan sistem pelaporan secara digital, tetapi budaya organisasi tidak bisa diatur oleh peraturan. Budaya tersebut mesti dibangun secara kolektif dan masif oleh kesadaran politik. 

Jika partai politik hendak menjadi pilar demokrasi yang dipercaya publik, langkah pertama adalah mengenali dirinya sendiri secara akurat. Dan itu hanya mungkin jika data diperbarui dengan sungguh-sungguh. Terlebih lagi, masyarakat hari ini, yang mayoritas diisi generasi milenial dan Gen Z, yang lebih cerdas dalam memilah dan memilih melalui ruang digital. Lambat laun mereka akan menuntut tata kelola organisasi partai politik yang transparan jika ingin dipilih. Tentu saja, tuntutan tersebut perlu direspon balik untuk meneguhkan eksistensi partai politik sebagai tulang punggung demokrasi.

KPU hanya dapat mendorong dan memfasilitasi, tetapi partai sendirilah yang menentukan sehat-tidaknya organisasi mereka. Jika partai mengabaikan pemutakhiran data, mereka sedang perlahan-lahan mengikis kredibilitas rumah mereka sendiri. Oleh karenanya, pemutakhiran data ini menjadi indikator kedewasaan partai, bukan semata pemenuhan regulasi.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 65 Kali.