Demokrasi di Pesantren: Ketika Santri Berkhidmat Menjaga Suara Rakyat
Oleh: Robingul Ahsan (Anggota KPU Kabupaten Wonosobo) Pemilu atau Pemilihan adalah praktik sosial budaya yang menyentuh kehidupan warga sehari-hari. Dan jika kita hendak melihat bagaimana demokrasi benar-benar bekerja di akar rumput. Tempat Pemungutan Suara (TPS) Lokasi Khusus di pondok pesantren menyediakan laboratorium sosial yang menarik untuk ditelisik. Pada Pilkada Serentak 2024, KPU Kabupaten Wonosobo menetapkan lima TPS Lokasi Khusus, empat di antaranya berada di lingkungan pondok pesantren. 3 TPS di Pondok Pesantren Al Mubarok Manggisan, Desa Mudal, Kecamatan Mojotengah dan 1 TPS di Pondok Pesantren API Roudltut Tholibin Watthullab Desa Blederan, Kecamatan Mojotengah. TPS ini ditujukan untuk memfasilitasi pemilih yang tak bisa pulang ke kampung halaman. TPS Lokasi Khusus ini bisa kita baca sebagai upaya demokrasi mengakomodasi realitas sosial yang tak selalu linear: orang yang tinggal, bekerja, atau belajar jauh dari alamat KTP-nya, tetap punya hak untuk dihitung suaranya. Yang layak dilirik adalah bagaimana TPS-TPS ini dikelola oleh para santri secara mandiri. Seturut regulasi KPU RI, anggota KPPS memanglah harus berasal dari pemilih di TPS itu sendiri. Maka, anak-anak muda dari pesantren, yang kesehariannya intim dengan kitab kuning, jadwal ngaji, dan dunia yang relatif tertutup dari hingar bingar politik elektoral, kini diberi amanat menyelenggarakan pemilihan. Meminjam kacamata sosiologi, fenomena di atas adalah transformasi peran sosial. Santri yang selama ini diposisikan sebagai pelajar agama dalam ruang kultural yang cenderung hierarkis, kini diberi peran administratif dan publik yang menuntut otonomi, ketelitian, bahkan keterampilan digital. Ini bentuk nyata dari penguatan modal sosial–konsep yang diperkenalkan oleh Sosiolog cum Filosof paruh abad 20 kenamaan Perancis, Pierre Bourdieu, sebagai salah satu sumber daya penting dalam partisipasi sipil. Dari sisi antropologi, keberadaan TPS di pesantren juga memperlihatkan bagaimana sistem demokrasi formal berinteraksi dengan struktur kultural tradisional. Pesantren adalah komunitas yang punya tata nilai sendiri, kepatuhan terhadap kiai, dan ritme hidup yang berbeda dari masyarakat umum. Namun justru karena basis komunitasnya yang kuat, nilai amanah, tanggung jawab, dan disiplin menjadi modal penting dalam menyukseskan pelaksanaan pemilihan. Perkawinan dua kultur ini jika bisa dipadupadankan maka akan selaras dengan prinsip-prinsip pemilihan, yang di antaranya adalah jujur dan akuntabel. KPU Kabupaten Wonosobo menyadari bahwa pendekatan teknokratis formal saja tidak cukup. Maka pelatihan teknis KPPS digabungkan dengan pendekatan yang lebih personal dan kontekstual. Ketua dan anggota KPPS dari kalangan santri tidak hanya diajak memahami regulasi, tapi juga dikuatkan secara mental. Koordinasi intens terkait pelaksanaan pungut hitung di dua pesantren digalakkan. Pada hari H, PPS dan PPK disiagakan untuk standby, KPU juga turut hadir langsung di lapangan. Manajemen penyelenggaraan demokrasi elektoral yang baik adalah yang dibangun lewat kehadiran, bukan hanya sekadar instruksi. Jika melihat hasil, maka cukup membuat bangga. Seluruh proses pemungutan dan penghitungan suara berjalan lancar, tidak ada Pemungutan Suara Ulang (PSU), tidak ada indikasi kecurangan, dan aplikasi SIREKAP berjalan tanpa hambatan berarti. Santri yang mungkin belum pernah melihat formulir C Hasil Plano, kini bisa mengisi dan mengarsipkannya dengan rapi. Keberhasilan ini bukan hanya perihal sukses teknis, tapi sekaligus menegaskan bahwa kelompok yang selama ini dianggap “pinggiran” dalam politik, ternyata bisa jadi aktor utama demokrasi. Ada pelajaran penting dari sini. Pertama, bahwa penyelenggaraan pemilu atau pemilihan tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-budaya. Melibatkan pesantren berarti memahami dan menghargai sistem nilai yang hidup di dalamnya. Kedua, bahwa strategi pelibatan kelompok khusus tidak bisa secara parsial melainkan harus bersifat holistik dengan menggabungkan aspek teknis, psikologis, dan kultural. Dan ketiga, ini yang paling penting, bahwa demokrasi Indonesia akan bertahan dan membumi bukan karena kecanggihan sistem, tapi karena kesediaan warga di berbagai ruang hidup, termasuk pesantren, untuk ikut serta merawatnya. Inilah yang dimaksud sebagai voluntary participation dalam sistem demokrasi. TPS Lokasi Khusus mungkin memang dibangun di ruang-ruang kecil. Tapi ia mengisyaratkan pesan besar, bahwa demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberikan kesempatan setiap warga untuk ikut terlibat dalam prosesnya. Dan santri, yang sering dianggap jauh dari literasi demokrasi, kini berperan sebagai penjaga hak suara warga negara. Bukan hanya sah secara hukum, tapi juga kuat secara kultural.
Selengkapnya