Money Politic: Patologi Demokrasi Yang Harus Dilawan

Money Politic: Patologi Demokrasi Yang Harus Dilawan

Oleh : Amirudin*

Divisi Sosialisasi, Parmas dan SDM KPU Kab. Wonosobo

 

Pemilu serentak 2019 telah sukses digelar. Walaupun banyak kalangan yang semula meragukan, namun sejarah akhirnya membuktikan bahwa pelaksaanan Pemilu serentak yang baru pertama kali dilaksanakan itu bisa happy ending.

Pesta demokrasi paling rumit dalam sejarah Pemilu Indonesia karena menggabungkan 5 pemilihan itu bisa terlaksana dengan damai, aman dan hampir tanpa ekses. Tingkat partipasipun tergolong sangat tinggi, yakni 81% di tingkat nasional dan 80% untuk Propinsi Jawa Tengah.

Untuk Kabupaten Wonosobo, tingkat partisipasinya juga naik tajam. Partipasi pemilihan presiden dan wakil presiden sebesar 79,15 % atau naik  sekitar 7% bila dibandingkan Pilpres 2014 (72,23%). Untuk pemilihan DPR RI tercatat 79,08%, DPR Prop 79,08 %, DPR kab 79,06% dan DPD 79,12. Secara umum Pemilu legislatif 2019 dikabupaten pegunungan ini naik 4% bila dibandingkan dengan Pileg 2014 yang tingkat partisipasinya mencapai 75,69%.

Merujuk pada Economist Intelligence Unit (EIU) bahwa salah satu indikator Pemilu berlangsung demokratis kalau tingkat partisipasinya mencapai 70 %, maka Pemilu serentak 2019 sudah tergolong diatas standar. Artinya Pemilu 2019 sudah sangat demokratis melampui standar partisipasi Pemilu tingkat dunia.

 

Partisipasi Semu?

Tentu capaian ini cukup memuaskan. Namun sebagai penyelenggara Pemilu, kita musti reflektif terutama terkait kritikan terhadap proses dan hasil Pemilu. Banyak kalangan menyebut partisipasi yang diukur dari banyaknya pemilih yang hadir merupakan partisipasi semu. Tingginya partisipasi itu, tidak murni karena ada proses mobilisasi dan money politic.

Mereka selalu mempertanyakan: apakah tingginya tingkat partisipasi berbanding lurus dengan tingkat kesadaran politik masyarakat? Apakah tingginya partisipasi juga selaras dengan kualitas Pemilu? Kenapa para pemimpin yang dihasilkan Pemilu tidak berkualitas? Dan berbagai pertanyaan lainnya?

Dalam beberapa kali diskusi dengan pimpinan Parpol, tergambar jelas kekecewaan mereka terhadap hasil Pemilu. Banyak kader yang berkualitas, jelas track recordnya, sudah berjuang lama untuk partai dan masyarakat, namun tersingkir- tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Justru sebagian pemenang konstestasi politik adalah sosok baru yang belum jelas kiprahnya.

Kekalahan kader berkualitas disebabkan tingkat kompetisi politik berlangsung keras. Bahkan semakin keras. Kalau beberapa Daerah Pemilihan di Wonosobo pada Pemilu 2014 lalu digambarkan sebagai wilayah panas layaknya “neraka”, maka pada Pemilu 2019 ini kompetisi di Daerah Pemilihan itu berlangsung lebih panas, layaknya “neraka jahanam”.

“Dulu, DP 4 (Kecamatan Kertek dan Kalikajar) terkenal sebagai Daerah Pemilihan yang panas sehingga disebut sebagai DP neraka, sekarang malah semua Daerah Pemilihan di Wonosobo menjadi DP neraka jahanam. Persaingannya sangat keras dan banyak yang terindikasi money politic” ujar salah satu pimpinan parpol di Wonosobo dalam sebuah sesi diskusi.

Maraknya money politic ini sudah menjadi pembicaraan umum. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak peserta Pemilu yang menggunakan cara-cara tidak terpuji untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Kabar yang berkembang di masyarakat, para calon legislatif rata-rata menghabiskan dana untuk memikat simpati pemilih sebesar ratusan juta hingga milyaran rupiah. Bahkan konon ada yang menghabiskan dana Rp 1,8 miliar !

Praktek money politic di kabupaten yang ASRI (Aman Sehat Rapi Indah) ini tidak hanya terjadi pada Pemilu saja. Pada pelaksanaan Pilkades, isu yang sama terdengar sangat santer. Para calon kades harus mengeluarkan kocek ratusan hingga miliaran rupiah jika ingin jadi jawara dalam pesta demokrasi tingkat desa itu.

Orang Wonosobo mengibaratkan praktek money politic seperti kentut. Jelas baunya, tetapi tidak ada ujudnya. Isu Money politic berhembus santer, tetapi jarang yang bisa dibuktikan. Apalagi sampai dikenai sanksi sesuai aturan perundangan.

Maraknya money politic inilah yang disebut-sebut sebagai biang rusaknya “pesta demokrasi”. Money politik ini juga mencederai “prestasi” tingginya tingkat partisipasi. Dengan adanya money politic, pemilih datang ke TPS bukan karena kesadaran untuk membangun sistem pemerintahan yang baik. Tetapi mereka datang karena mendapatkan imbalan tertentu.

Prilaku pemilih yang seperti ini tentu saja tidak bisa dikategorikan sebagai pemilih yang berpartisipasi. Karena partisipasi dalam politik meniscayakan sekurang-kurangnya dua sikap dasar, yakni kesukarelaan (voluntary) dan tanggung jawab. Pemilih yang datang ke TPS karena money politic sudah bisa dipastikan bukan pemilih yang memiliki sikap kesukarelaan, tetapi pemilih pragmatis. Pemilih yang menerima money politic juga bisa dikatagorikan sebagai pemilih yang acuh dan tidak peduli dengan hasil Pemilu. Baginya tidak ada tanggungjawab atas hak pilihnya. Terserah siapapun yang terpilih, yang penting dirinya mendapatkan imbalan.

Celakanya sikap seperti ini menghampiri hampir semua kalangan. Ketika ada peserta Pemilu yang datang, pada umumnya mereka bukan menanyakan visi, misi dan program kerja, tetapi apa yang bisa diberikan kepada masyarakat. Maka yang terjadi adalah kontrak politik pragmatis; seperti pemberian tratak, pralon, karpet, sound sistem, semen dan barang-barang lainnya. Juga banyak yang secara vulgar meminta nominal dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah untuk setiap suara. Sehingga seringkali kali kita dengar jargon yang berkembang di masyarakat, seperti wani pira? (berani berapa?), NPWP (nomor pira wani pira?), ra uit ra oblos (tidak ada uang tidak ada coblosan) dan lainnya.

Praktek money politic ini sudah begitu mewabah. Seperti menjadi “tradisi” pada setiap hajatan demokrasi. Entah itu Pilkades, Pileg, Pilkada atau hajatan politik lainnya. Isu money politic pasti datang menyeruap, tanpa bisa ditangani secara serius.

 

Gerakan Bersama

Praktek money politic sudah menjadi keprihatinan bersama. Namun hingga kini, patologi (penyakit) demokrasi itu belum kunjung ada obatnya. Baik penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, akademis, LSM, jurnalis dan semua stakeholder lainnya seperti tidak berdaya apa-apa. Kalaupun mereka melakukan perlawanan, hanya sebatas bunyi-bunyian tolak money politic, yang tidak berapa lama kemudian hilang gaungnya ditelan hiruk pikuk pesta demokrasi.

Hal inilah yang membuat banyak kalangan pesimis. Bahkan banyak yang menyatakan money politic tidak bisa dilawan, apalagi dihilangkan. Sehingga percuma semua gerakan yang berorientasasi pada anti politik uang itu. Baik gerakan yang berupa sosialisasi dari penyelenggara Pemilu, himbaun para agamawan, penengakan hukum oleh aparat maupun gerakan politik bersih yang digaungkan oleh para aktivis demokrasi. Semuanya dianggap sebagai gerakan sia-sia belaka.

Pesimisme ini bisa dipahami karena mengatasi money politic bagaikan mengurai bolah mbundet (benang kusut) yang tidak jelas ujung-pangkal masalahnya. Masyarakat penerima money politic akan beralibi, prilakunya layak dibenarkan karena selama ini mereka frustasi dengan sistem dan hasil Pemilu. Berkali-kali dilakukan Pemilu tetapi hasilnya sama saja. Tidak memiliki efek bagi peningkatan kesejahteraannya. Sehingga kalau ada yang memberi money politic, ya diterima saja.

Para politisi/peserta Pemilu juga akan beralibi, sistem politik dan kondisi masyarakat yang pragmatislah yang membuat mereka terpaksa melakukan money politic. Jika tidak, maka dirinya tidak bisa memikat hati pemilih. Juga akan kalah saing dengan peserta pemilu lainnya yang juga mengunakan politik uang.

Kesadaran para politisi ini setidaknya tercermin dari manuver para pimpinan parpol di Kabupaten Wonosobo yang berkeinginan agar praktek money politic pada Pilkada 2020 bisa ditekan. Seperti dilansir berbagai media massa, para pimpinan Parpol pemilik kursi di DPRD beberapa kali menggelar pertemuan untuk menekan biaya politik. Terlepas dari seting politik masing-masing parpol, tentu sikap yang positif ini harus disambut baik oleh semua pihak.

Sikap optimisme yang sudah bersemai di banyak kalangan ini harus disambut oleh semua pihak agar patologi demokrasi yang berwujud money politic ini bisa diminimalisasi. Sudah saatnya semua pihak bersinergi membuat gerakan bersama melawan money politik. KPU, Bawaslu, Pemkab, TNI, Polri, akademisi, pelajar, agamawan, pengusaha, Ormas, OKP, para Kades dan semua lapisan masyarakat bersinergi membangun gerakan lawan money politik!!!  

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 1,116 Kali.