Opini

566

Demokrasi di Pesantren: Ketika Santri Berkhidmat Menjaga Suara Rakyat

Oleh: Robingul Ahsan (Anggota KPU Kabupaten Wonosobo) Pemilu atau Pemilihan adalah praktik sosial budaya yang menyentuh kehidupan warga sehari-hari. Dan jika kita hendak melihat bagaimana demokrasi benar-benar bekerja di akar rumput. Tempat Pemungutan Suara (TPS) Lokasi Khusus di pondok pesantren menyediakan laboratorium sosial yang menarik untuk ditelisik. Pada Pilkada Serentak 2024, KPU Kabupaten Wonosobo menetapkan lima TPS Lokasi Khusus, empat di antaranya berada di lingkungan pondok pesantren. 3 TPS di Pondok Pesantren Al Mubarok Manggisan, Desa Mudal, Kecamatan Mojotengah dan 1 TPS di Pondok Pesantren API Roudltut Tholibin Watthullab Desa Blederan, Kecamatan Mojotengah. TPS ini ditujukan untuk memfasilitasi pemilih yang tak bisa pulang ke kampung halaman. TPS Lokasi Khusus ini bisa kita baca sebagai upaya demokrasi mengakomodasi realitas sosial yang tak selalu linear: orang yang tinggal, bekerja, atau belajar jauh dari alamat KTP-nya, tetap punya hak untuk dihitung suaranya. Yang layak dilirik adalah bagaimana TPS-TPS ini dikelola oleh para santri secara mandiri. Seturut regulasi KPU RI, anggota KPPS memanglah harus berasal dari pemilih di TPS itu sendiri. Maka, anak-anak muda dari pesantren, yang kesehariannya intim dengan kitab kuning, jadwal ngaji, dan dunia yang relatif tertutup dari hingar bingar politik elektoral, kini diberi amanat menyelenggarakan pemilihan. Meminjam kacamata sosiologi, fenomena di atas adalah transformasi peran sosial. Santri yang selama ini diposisikan sebagai pelajar agama dalam ruang kultural yang cenderung hierarkis, kini diberi peran administratif dan publik yang menuntut otonomi, ketelitian, bahkan keterampilan digital. Ini bentuk nyata dari penguatan modal sosial–konsep yang diperkenalkan oleh Sosiolog cum Filosof paruh abad 20 kenamaan Perancis, Pierre Bourdieu, sebagai salah satu sumber daya penting dalam partisipasi sipil. Dari sisi antropologi, keberadaan TPS di pesantren juga memperlihatkan bagaimana sistem demokrasi formal berinteraksi dengan struktur kultural tradisional. Pesantren adalah komunitas yang punya tata nilai sendiri, kepatuhan terhadap kiai, dan ritme hidup yang berbeda dari masyarakat umum. Namun justru karena basis komunitasnya yang kuat, nilai amanah, tanggung jawab, dan disiplin menjadi modal penting dalam menyukseskan pelaksanaan pemilihan. Perkawinan dua kultur ini jika bisa dipadupadankan maka akan selaras dengan prinsip-prinsip pemilihan, yang di antaranya adalah jujur dan akuntabel. KPU Kabupaten Wonosobo menyadari bahwa pendekatan teknokratis formal saja tidak cukup. Maka pelatihan teknis KPPS digabungkan dengan pendekatan yang lebih personal dan kontekstual. Ketua dan anggota KPPS dari kalangan santri tidak hanya diajak memahami regulasi, tapi juga dikuatkan secara mental. Koordinasi intens terkait pelaksanaan pungut hitung di dua pesantren digalakkan. Pada hari H, PPS dan PPK disiagakan untuk standby, KPU juga turut hadir langsung di lapangan. Manajemen penyelenggaraan demokrasi elektoral yang baik adalah yang dibangun lewat kehadiran, bukan hanya sekadar instruksi. Jika melihat hasil, maka cukup membuat bangga. Seluruh proses pemungutan dan penghitungan suara berjalan lancar, tidak ada Pemungutan Suara Ulang (PSU), tidak ada indikasi kecurangan, dan aplikasi SIREKAP berjalan tanpa hambatan berarti. Santri yang mungkin belum pernah melihat formulir C Hasil Plano, kini bisa mengisi dan mengarsipkannya dengan rapi. Keberhasilan ini bukan hanya perihal sukses teknis, tapi sekaligus menegaskan bahwa kelompok yang selama ini dianggap “pinggiran” dalam politik, ternyata bisa jadi aktor utama demokrasi. Ada pelajaran penting dari sini. Pertama, bahwa penyelenggaraan pemilu atau pemilihan tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-budaya. Melibatkan pesantren berarti memahami dan menghargai sistem nilai yang hidup di dalamnya. Kedua, bahwa strategi pelibatan kelompok khusus tidak bisa secara parsial melainkan harus bersifat holistik dengan menggabungkan aspek teknis, psikologis, dan kultural. Dan ketiga, ini yang paling penting, bahwa demokrasi Indonesia akan bertahan dan membumi bukan karena kecanggihan sistem, tapi karena kesediaan warga di berbagai ruang hidup, termasuk pesantren, untuk ikut serta merawatnya. Inilah yang dimaksud sebagai voluntary participation dalam sistem demokrasi. TPS Lokasi Khusus mungkin memang dibangun di ruang-ruang kecil. Tapi ia mengisyaratkan pesan besar, bahwa demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberikan kesempatan setiap warga untuk ikut terlibat dalam prosesnya. Dan santri, yang sering dianggap jauh dari literasi demokrasi, kini berperan sebagai penjaga hak suara warga negara. Bukan hanya sah secara hukum, tapi juga kuat secara kultural.


Selengkapnya
1384

Pantarlih Ora Sepele: Sebuah Catatan Lapangan Pemutakhiran Data Pemilih

Pantarlih Ora Sepele: Sebuah Catatan Lapangan Pemutakhiran Data Pemilih Oleh: Robingul Ahsan  Komisioner KPU Kabupaten Wonosobo Realitas lapangan selalu lebih kompleks daripada yang tertuang di atas kertas. Kira-kira itulah gambaran kerja Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) ketika turun langsung melayani dan mendata pemilih di masing-masing wilayah TPS. Tidak pernah sederhana. Kendala, kesulitan, dilema, bahkan drama tak terduga bisa tiba-tiba menghinggapi pantarlih saat bekerja. Pantarlih merupakan pelaku utama pemutakhiran data pemilih. Tahapan ini dilakukan dengan verifikasi faktual mendatangi rumah-rumah (door to door) pada masa pencocokan dan penelitian (coklit) dimulai sejak 24 Juni 2024 dan berakhir pada 24 Juli 2024 sesuai PKPU 2 tahun 2024 tentang tahapan Pilkada serentak. Pekerjaan pantarlih di masing-masing TPS tidak bisa dianggap sepele, pasalnya akurasi data pemilih menjadi titik tolak sukses tidaknya penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024. Jika penghitungan suara adalah gong pamungkas penyelenggaraan pemilihan, maka pemutakhiran data pemilih tak lain adalah serangkaian nada yang terus berjalan mengalun sebelum gong ditabuh. Tidak boleh fals dan keliru.  Persoalan klasik data kependudukan yang tak kunjung selesai  Pada minggu ketiga, pantarlih di seluruh Kabupaten Wonosobo sudah berhasil mencapai angka 100% proses coklit, baik secara offline maupun online melalui aplikasi e-coklit. Keberhasilan ini tentu saja tidak secara mudah dilakukan, kendala-kendala lapangan masih menjadi tantangan.  Di antara beberapa kendala adalah ketidakmutakhiran dokumen pemilih saat dilakukan coklit. Seperti diketahui, coklit dijalankan dengan asas de jure (sesuai hukum), artinya pencocokan dan penelitian ini mengacu pada data dokumen sah kependudukan yang saat ini dipegang oleh pemilih. Sementara, fakta lapangan bisa berkata lain, di Kabupaten Wonosobo ada beberapa pemilih yang belum mengubah KTP-el ataupun KK meski alamat atau status perkawinan sudah berganti. Dalam kasus lain, pantarlih juga menemukan pemilih yang sudah meninggal dunia namun tidak memiliki akta kematian. Padahal, dokumen tersebut dibutuhkan pantarlih sebagai bukti dukung untuk mencoret pemilih yang sudah Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Kealpaan akta kematian ini terjadi karena beragam alasan. Ada yang karena tidak sempat mengurus, ada juga yang memang sengaja tidak diurus. Misalnya, pada pemilih penerima bantuan pemerintah yang meninggal. Agar bantuan tetap cair mengalir, akta kematian dibiarkan tidak terbit.  Yang tidak kalah menantang lagi, pantarlih kadang “terpaksa” masuk dalam urusan rumah tangga lantaran status perceraian belum sempat diurus pada dokumen kependudukan. Dilema muncul saat pantarlih harus memberikan tanda bukti coklit dan stiker. Regulasi mewajibkan pantarlih mencantumkan nama anggota keluarga yang tertera di KK sementara pemilih tersebut tidak sudi jika mantan suami/istri ditulis.  Situasi di atas sebenarnya bukan khas Wonosobo, melainkan jamak terjadi di daerah lain. KPU Wonosobo sudah mencoba mengantisipasinya dengan berkoordinasi intens dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Wonosobo.  Dukcapil Wonosobo sendiri bahkan sudah mendorong warga masyarakat untuk melakukan perekaman KTP-el atau pembaruan data kependudukan. Langkah itu dilakukan dengan menyurati tiap kecamatan untuk selanjutnya diteruskan kepada desa atau kelurahan di wilayahnya masing-masing. Bahkan, Dukcapil juga siap jemput bola jika diminta datang. Selain persoalan dokumen kependudukan, pantarlih juga mesti menghadapi kendala lain, seperti sulitnya bertemu dengan pemilih dan ketidakmauan pemilih menunjukkan dokumennya. Ada yang memang karena kesibukan, persoalan ideologis, dan ada yang karena cemas dan takut perihal keamanan data pribadi.  Meski pantarlih sudah datang meyakinkan dengan atribut dan tata cara yang semestinya, beberapa keluarga di salah satu desa enggan menunjukkan dokumennya. Alasannya karena takut disalahgunakan untuk pinjaman online yang sedang marak.  Soal keamanan data pribadi, KPU dan Kemendagri memedomani UU No.27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi  sudah bersepakat menerapkan Zero sharing data policy. KPU dan jajarannya, termasuk pantarlih, tidak boleh memberikan data pribadi pemilih yang memuat NIK dan tanggal lahir kepada siapapun, bahkan kepada pengawas pemilihan. Domain pengawasan Bawaslu dan jajarannya dibatasi pada ranah memastikan apakah proses coklit dilakukan sesuai regulasi atau tidak.  Terhadap kasus-kasus khusus tersebut, pantarlih, PPS, dan PPK mesti memahami secara detail serta mencatat riwayat pemilih yang berpotensi menjadi masalah ketika hari H. Koordinasi dengan jajaran pengawas dan stakeholder pada tingkatan masing-masing menjadi kunci penyelesaian. Harapannya, persoalan yang muncul saat tahap pemutakhiran data pemilih bisa segera teratasi sehingga tidak menjadi sengketa dan sandungan hukum di kemudian hari.  Perlu gandeng tangan masyarakat Tahapan Pemutakhiran data pemilih memerlukan dukungan partisipasi masyarakat. Data akurat dan mutakhir dapat terwujud tidak hanya bergantung pada aktor tunggal, dalam hal ini KPU dan jajarannya. Namun, ada faktor penentu lain yang terletak pada respon masyarakat berupa masukan dan tanggapan. Respon inilah yang sedianya mengawal proses pemutakhiran data sejak sumber data pemilih diturunkan. Berdasarkan UU Pilkada No. 10 Tahun 2016, sumber data pemilih Pilkada 2024 adalah Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilih (DP4) dari Kemendagri dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir. DPT Kabupaten Wonosobo pada Pemilu 2024 ada di angka 693.625 kemudian ditambah DP4 sebanyak 6.247, maka totalnya adalah 699.872. Dari daftar pemilih tersebut, KPU Kabupaten Wonosobo melakukan verifikasi faktual dengan metode coklit yang dilakukan oleh 2.712 Pantarlih di 1551 TPS.  Pada minggu terakhir masa coklit, PPK dan PPS di kabupaten Wonosobo membuka ruang aduan bagi warga yang belum didatangi pantarlih. Ini dimaksudkan untuk memastikan seluruh warga sudah terdata. Setelah masa coklit berakhir, tanggapan dan masukan masyarakat bisa dilakukan pada 18-27 Agustus setelah Daftar Pemilih Sementara (DPS) ditetapkan oleh KPU Kabupaten. Selanjutnya PPS akan mengumumkan DPS melalui berbagai media dengan prinsip aksesibel di tingkat desa atau kelurahan. Masukan dan tanggapan sebagai bagian dari partisipasi masyarakat tersebut bisa disampaikan kepada PPS di wilayah masing-masing.  Partisipasi masyarakat pada tahapan ini penting untuk memastikan akurasi data pemilih. Partisipasi tidak sekadar persoalan penggunaan hak pilih di bilik suara, tetapi juga bagaimana publik berperan dalam mewujudkan proses pemilihan yang kredibel dan legitimate.  Keterlibatan publik dalam pengawasan data pemilih menjadi bagian kontrol kualitas demokrasi. Meski instrumen hukum telah disusun untuk menggaransi hak pilih setiap warga negara, namun pada tahapan implementasinya masih memerlukan strategi-strategi jitu yang bisa menstimulasi sikap proaktif masyarakat.  Upaya menyelesaikan kendala-kendala di lapangan di atas adalah ikhtiar bersama untuk mewujudkan Pilkada serentak di Wonosobo yang bermartabat. Jika ditarik garis lebih jauh, pantarlih mengemban tugas mulia demokrasi. Pekerjaan pantarlih dengan segala persoalan pelik dan kerja-kerja sunyi di lapangan ini tidak lain adalah dalam rangka menjaga hak konstitusional setiap warga negara.  Pada akhirnya, terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh pantarlih atas kerja nyatanya. Pantarlih ora sepele! 


Selengkapnya
1117

Money Politic: Patologi Demokrasi Yang Harus Dilawan

Money Politic: Patologi Demokrasi Yang Harus Dilawan Oleh : Amirudin* Divisi Sosialisasi, Parmas dan SDM KPU Kab. Wonosobo   Pemilu serentak 2019 telah sukses digelar. Walaupun banyak kalangan yang semula meragukan, namun sejarah akhirnya membuktikan bahwa pelaksaanan Pemilu serentak yang baru pertama kali dilaksanakan itu bisa happy ending. Pesta demokrasi paling rumit dalam sejarah Pemilu Indonesia karena menggabungkan 5 pemilihan itu bisa terlaksana dengan damai, aman dan hampir tanpa ekses. Tingkat partipasipun tergolong sangat tinggi, yakni 81% di tingkat nasional dan 80% untuk Propinsi Jawa Tengah. Untuk Kabupaten Wonosobo, tingkat partisipasinya juga naik tajam. Partipasi pemilihan presiden dan wakil presiden sebesar 79,15 % atau naik  sekitar 7% bila dibandingkan Pilpres 2014 (72,23%). Untuk pemilihan DPR RI tercatat 79,08%, DPR Prop 79,08 %, DPR kab 79,06% dan DPD 79,12. Secara umum Pemilu legislatif 2019 dikabupaten pegunungan ini naik 4% bila dibandingkan dengan Pileg 2014 yang tingkat partisipasinya mencapai 75,69%. Merujuk pada Economist Intelligence Unit (EIU) bahwa salah satu indikator Pemilu berlangsung demokratis kalau tingkat partisipasinya mencapai 70 %, maka Pemilu serentak 2019 sudah tergolong diatas standar. Artinya Pemilu 2019 sudah sangat demokratis melampui standar partisipasi Pemilu tingkat dunia.   Partisipasi Semu? Tentu capaian ini cukup memuaskan. Namun sebagai penyelenggara Pemilu, kita musti reflektif terutama terkait kritikan terhadap proses dan hasil Pemilu. Banyak kalangan menyebut partisipasi yang diukur dari banyaknya pemilih yang hadir merupakan partisipasi semu. Tingginya partisipasi itu, tidak murni karena ada proses mobilisasi dan money politic. Mereka selalu mempertanyakan: apakah tingginya tingkat partisipasi berbanding lurus dengan tingkat kesadaran politik masyarakat? Apakah tingginya partisipasi juga selaras dengan kualitas Pemilu? Kenapa para pemimpin yang dihasilkan Pemilu tidak berkualitas? Dan berbagai pertanyaan lainnya? Dalam beberapa kali diskusi dengan pimpinan Parpol, tergambar jelas kekecewaan mereka terhadap hasil Pemilu. Banyak kader yang berkualitas, jelas track recordnya, sudah berjuang lama untuk partai dan masyarakat, namun tersingkir- tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Justru sebagian pemenang konstestasi politik adalah sosok baru yang belum jelas kiprahnya. Kekalahan kader berkualitas disebabkan tingkat kompetisi politik berlangsung keras. Bahkan semakin keras. Kalau beberapa Daerah Pemilihan di Wonosobo pada Pemilu 2014 lalu digambarkan sebagai wilayah panas layaknya “neraka”, maka pada Pemilu 2019 ini kompetisi di Daerah Pemilihan itu berlangsung lebih panas, layaknya “neraka jahanam”. “Dulu, DP 4 (Kecamatan Kertek dan Kalikajar) terkenal sebagai Daerah Pemilihan yang panas sehingga disebut sebagai DP neraka, sekarang malah semua Daerah Pemilihan di Wonosobo menjadi DP neraka jahanam. Persaingannya sangat keras dan banyak yang terindikasi money politic” ujar salah satu pimpinan parpol di Wonosobo dalam sebuah sesi diskusi. Maraknya money politic ini sudah menjadi pembicaraan umum. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak peserta Pemilu yang menggunakan cara-cara tidak terpuji untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Kabar yang berkembang di masyarakat, para calon legislatif rata-rata menghabiskan dana untuk memikat simpati pemilih sebesar ratusan juta hingga milyaran rupiah. Bahkan konon ada yang menghabiskan dana Rp 1,8 miliar ! Praktek money politic di kabupaten yang ASRI (Aman Sehat Rapi Indah) ini tidak hanya terjadi pada Pemilu saja. Pada pelaksanaan Pilkades, isu yang sama terdengar sangat santer. Para calon kades harus mengeluarkan kocek ratusan hingga miliaran rupiah jika ingin jadi jawara dalam pesta demokrasi tingkat desa itu. Orang Wonosobo mengibaratkan praktek money politic seperti kentut. Jelas baunya, tetapi tidak ada ujudnya. Isu Money politic berhembus santer, tetapi jarang yang bisa dibuktikan. Apalagi sampai dikenai sanksi sesuai aturan perundangan. Maraknya money politic inilah yang disebut-sebut sebagai biang rusaknya “pesta demokrasi”. Money politik ini juga mencederai “prestasi” tingginya tingkat partisipasi. Dengan adanya money politic, pemilih datang ke TPS bukan karena kesadaran untuk membangun sistem pemerintahan yang baik. Tetapi mereka datang karena mendapatkan imbalan tertentu. Prilaku pemilih yang seperti ini tentu saja tidak bisa dikategorikan sebagai pemilih yang berpartisipasi. Karena partisipasi dalam politik meniscayakan sekurang-kurangnya dua sikap dasar, yakni kesukarelaan (voluntary) dan tanggung jawab. Pemilih yang datang ke TPS karena money politic sudah bisa dipastikan bukan pemilih yang memiliki sikap kesukarelaan, tetapi pemilih pragmatis. Pemilih yang menerima money politic juga bisa dikatagorikan sebagai pemilih yang acuh dan tidak peduli dengan hasil Pemilu. Baginya tidak ada tanggungjawab atas hak pilihnya. Terserah siapapun yang terpilih, yang penting dirinya mendapatkan imbalan. Celakanya sikap seperti ini menghampiri hampir semua kalangan. Ketika ada peserta Pemilu yang datang, pada umumnya mereka bukan menanyakan visi, misi dan program kerja, tetapi apa yang bisa diberikan kepada masyarakat. Maka yang terjadi adalah kontrak politik pragmatis; seperti pemberian tratak, pralon, karpet, sound sistem, semen dan barang-barang lainnya. Juga banyak yang secara vulgar meminta nominal dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah untuk setiap suara. Sehingga seringkali kali kita dengar jargon yang berkembang di masyarakat, seperti wani pira? (berani berapa?), NPWP (nomor pira wani pira?), ra uit ra oblos (tidak ada uang tidak ada coblosan) dan lainnya. Praktek money politic ini sudah begitu mewabah. Seperti menjadi “tradisi” pada setiap hajatan demokrasi. Entah itu Pilkades, Pileg, Pilkada atau hajatan politik lainnya. Isu money politic pasti datang menyeruap, tanpa bisa ditangani secara serius.   Gerakan Bersama Praktek money politic sudah menjadi keprihatinan bersama. Namun hingga kini, patologi (penyakit) demokrasi itu belum kunjung ada obatnya. Baik penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, akademis, LSM, jurnalis dan semua stakeholder lainnya seperti tidak berdaya apa-apa. Kalaupun mereka melakukan perlawanan, hanya sebatas bunyi-bunyian tolak money politic, yang tidak berapa lama kemudian hilang gaungnya ditelan hiruk pikuk pesta demokrasi. Hal inilah yang membuat banyak kalangan pesimis. Bahkan banyak yang menyatakan money politic tidak bisa dilawan, apalagi dihilangkan. Sehingga percuma semua gerakan yang berorientasasi pada anti politik uang itu. Baik gerakan yang berupa sosialisasi dari penyelenggara Pemilu, himbaun para agamawan, penengakan hukum oleh aparat maupun gerakan politik bersih yang digaungkan oleh para aktivis demokrasi. Semuanya dianggap sebagai gerakan sia-sia belaka. Pesimisme ini bisa dipahami karena mengatasi money politic bagaikan mengurai bolah mbundet (benang kusut) yang tidak jelas ujung-pangkal masalahnya. Masyarakat penerima money politic akan beralibi, prilakunya layak dibenarkan karena selama ini mereka frustasi dengan sistem dan hasil Pemilu. Berkali-kali dilakukan Pemilu tetapi hasilnya sama saja. Tidak memiliki efek bagi peningkatan kesejahteraannya. Sehingga kalau ada yang memberi money politic, ya diterima saja. Para politisi/peserta Pemilu juga akan beralibi, sistem politik dan kondisi masyarakat yang pragmatislah yang membuat mereka terpaksa melakukan money politic. Jika tidak, maka dirinya tidak bisa memikat hati pemilih. Juga akan kalah saing dengan peserta pemilu lainnya yang juga mengunakan politik uang. Kesadaran para politisi ini setidaknya tercermin dari manuver para pimpinan parpol di Kabupaten Wonosobo yang berkeinginan agar praktek money politic pada Pilkada 2020 bisa ditekan. Seperti dilansir berbagai media massa, para pimpinan Parpol pemilik kursi di DPRD beberapa kali menggelar pertemuan untuk menekan biaya politik. Terlepas dari seting politik masing-masing parpol, tentu sikap yang positif ini harus disambut baik oleh semua pihak. Sikap optimisme yang sudah bersemai di banyak kalangan ini harus disambut oleh semua pihak agar patologi demokrasi yang berwujud money politic ini bisa diminimalisasi. Sudah saatnya semua pihak bersinergi membuat gerakan bersama melawan money politik. KPU, Bawaslu, Pemkab, TNI, Polri, akademisi, pelajar, agamawan, pengusaha, Ormas, OKP, para Kades dan semua lapisan masyarakat bersinergi membangun gerakan lawan money politik!!!  


Selengkapnya
1101

Andai Saja Mereka Hilang dari DPT Oleh: Dhyan Kartika Wulandari Devisi Perencanaan Data dan Informasi KPU Kabupaten Wonosobo

Dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilihan di Kabupaten Wonosobo  selalu punya pekerjaan rumah terkait angka partisipasi yang tidak bisa dimaksimalkan. KPU Wonosobo beserta jajarannya ke bawah PPK dan PPS sudah mengupayakan sosialisasi yang masif sampai ke tingkat masayarakat terbawah. Berbagai inovasi sudah dilakukan baik itu tatap muka, lewat alat peraga sosialisasi, lewat medsos, lewat kesenian tradisional dan lainnya, agar angka partisipasi masyarakat di Wonosobo bisa ditingkatkan lagi. Hal itupun yang KPU Kabupaten Wonosobo lakukan di Pilkada Bupati dan Wakil Bupati 2020, apalagi situasi pilkada ini di tengah pandemi yang menuntut kerja keras penyelenggara. Selain sosialisasi, keberadaan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Wonosobo juga mempengaruhi angka partsipasi. Karena banyak pemilih yang terdaftar di DPT, tetapi mereka tidak berada di rumah. Hal ini akan mempengaruhi jumlah partisipasi. Karena partisipasi itu dihitung dari jumlah DPT bukan dari C Pemberitahuan yang terbagi. KPU Wonosobo merasa tertantang dengan hal tersebut sehingga KPU Wonosobo berinisiatf membuat aplikasi Si Rika DPT, yang langsung terkonfirmasi dengan C Pemberitahuan (Undangan) yang dibagi oleh KPPS kepada pemilih. Aplikasi Si Rika DPT terdiri dari dua versi website dan versi mobile. Versi mobile dapat dilihat di htttps:kpu-wonosobo.vercel.app/login, sedangkan versi mobile dapat diunduh di play store dengan kata kunci pencarian “Sirika DPT”. Aplikasi Sirika DPT versi website digunakan oleh operator KPU kabupaten dan operator kecamatan untuk mengetahui dan mengecek jumlah pemilih yang telah terkonfirmasi mendapatkan C Pemberitahuan dan pemilih yang belum mendapatkan C Pemberitahuan beserta alasannya. Aplikasi Sirika DPT versi mobile berbasis android digunakan KPPS di masing-masing TPS untuk mengkonfimasi distribusi C Pemberitahuan kepada pemilih yang sudah terdaftar dalam DPT. Dalam Aplikasi Sirika ada 6 kategori C Pemberitahuan yang tidak terdistribusi: Meninggal. Pemilih yang C Pemberitahuan tidak terkonfimasi karena meninggal adalah pemilih yang meninggal setelah masa penetapan DPT sampai menjelang Hari Pemungutan Suara yang sudah diinventarisir juga pada masa pemeliharaan DPT. Jumlah Totalnya 2.225 di Kabupaten Wonosobo. Dengan angka kematian tertinggi di Kecamatan Wonosobo (296), Kertek (234), dan Kalikajar (206) Pindah Domisili. Pemilih yang C Pemberitahuan tidak terkonfirmasi karena pindah domisili adalah pemilih yang melakukan proses pindah secara administrasi dari Kabupaten Wonosobo ke luar Wonosobo sejak penetapan DPT. Banyak kasus penduduk Wonosobo yang sebelumnya sudah pindah domisili ke daerah lain, tapi tidak atau belum dibersihkan dari DPT karena dokumen kependudukan masih berstatus penduduk Wonosobo. Kurang rendahnya kesadaran tentang tertib administrasi kependududukan menghambat KPU dalam pembersihan data menuju DPT yang bersih. Untuk kategori pindah domisili 3 kecamatan teratas adalah Kecamatan Wonosobo (449), Kepil (319) dan Mojotengah (258). Total jumlah pemilih pindah domisili se-Kabupaten Wonosobo 2.938 Kerja di Luar. Pemilih yang C Pemberitahuan tidak terkonfirmasi karena kerja di luar memberi sumbangsih paling besar rendahnya angka partisipasi. Hal ini disebabkan masyarakat yang bekerja di luar kota/propinsi terikat kontrak kerja sehingga tidak bisa sewaktu waktu pulang ke rumah, termasuk untuk menggunakan hak pilihnya.   Kecenderungan tingginya angka masyarakat yang bekerja di luar negeri ada beberapa faktor. Tingkat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Wonosobo masih rendah, kurangnya lapangan pekerjaan dan rendahnya tingkat pendidikan dan skill. Ada  faktor lainnya, yakni ketertarikan melihat teman/saudara yang sudah terlebih dahulu bekerja di luar dan sukses, membuat dari tahun ke tahun angka masyarakat yang bekerja di luar semakin meningkat signifikan. Hal ini menjadi masalah klasik yang selalu membersamai proses tahapan penyelenggaran pemilu di Wonosobo. Beberapa kendala yang KPU Wonosobo hadapi dalam usaha pembersihan data orang-orang tersebut dari DPT adalah tidak adanya payung hukum yang jelas terkait legal formal untuk mencoret atau membersihkan orang yang bekerja di luar dari DPT, walaupun dipastikan orang tersebut tidak kembali pada hati H. Karena secara regulasi kita bisa dianggap menghilangkan hak konstitusional masyarakat untuk memilih yang jauh lebih penting dari hanya sekedar angka partisipasi masyarakat. Pada Pilbup Tahun 2015, KPU Wonosobo setelah berkoordinasi dengan Panwaslu Wonosobo, boleh membersihkan orang-orang yang bekerja di luar dari DPT asal ada dari pihak keluarga yang bertanda tangan surat pernyataan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak kembali pada hari H Pemungutan Suara. Tapi upaya tersebut belum optimal karena banyak anggota keluarga yang tidak mau bertanda tangan. Di Pilkada 2020 ini sebenarnya di PKPU No: 9 tahun 2020 dan di SK  KPU Kabupaten Wonosobo No: 234 tentang Pemutakhiran Data Pemilih, jelas berbunyi bahwa boleh mencoret pemlih yang tidak diketahui keberadaannya, salah satunya orang yang bekerja di luar atau transmigrasi. KPU Wonosobo juga sudah berkoordinasi dengan Bawaslu Wonosobo terkait pencoretan ini, membolehkan PPS mencoret pemilih tersebut dari DPT setelah minta persetujuan pihak keluarga, RT/RW dan berkoordinasi dengan PKD setempat. Jika salah satu dari pihak-pihak tersebut tidak mau maka jangan dicoret. Tapi di lapangan juga tidak efektif karena banyak PPS yang tidak berani mencoret karena tidak ada persetujan pihak keluarga, RT/RW maupun PKD. Akibatnya wilayah-wilayah tersebut angka partsipasinya rendah. Yang paling banyak adalah Kecamatan Wadaslintang. Jumlah total DPT nya 49.286 dan yang bekerja di luar sejumlah 8.656. Kasus di Kecamatan Wadaslintang dari pemilu ke pemilu selalu sama dan sulit dirubah dengan angka ketidakhadiran ke TPS tinggi  karena secara fakta orang-orang tersebut memang tidak ada di rumah. Ada 2 desa yang menjadi sentra TKW yaitu Desa Ngalian dan Desa Lancar. Sedangkan 3 desa penyumbang TKI di Kecamatan Wadaslintang adalah Desa Gumelar, Somagede dan Kaligowong dan tujuan hampir 80% ke Korea. Prosentase masyarakat Wadaslintang yang bekerja di luar kota dan propinsi sebanyak 40% dengan tujuan terbanyak Kalimantan, untuk bekerja di perkebunan sawit namun Langkah mereka tidak diikuti dengan pindah dokumen kependudukan. Selain itu banyak juga warga yang bekerja di Jakarta, Bekasi, Tanggerang dan kota besar lainnya. Yang kedua adalah Kecamatan Kaliwiro yaitu 8.551 orang kerja di luar dari total DPT sejumlah 43.443. Desa penyumbang TKI dan TKW adalah Desa Medono dan Ngasinan dengan tujuan ke Hongkong, Taiwan, Singapura dan Malaysia. Banyak warga kaliwiro kususnya tracap yang keluar kota/provinsi bersama keluarga dalam watu lama namun tidak diikuti dengan perubahan dokumen domisili. Yang ketiga Kecamatan Watumalang dengan DPT sebanyak 44.611 dan ada 6.558 pemilih yang bekerja di luar kota, propinsi maupun luar negeri. Masyarakat yang bekerja sebagai TKI dan TKW terbanyak di Desa Kuripan, Limbangan dan Wonoroto. Bahkan ada Pusat Paguyuban TKI di Desa Kuripan. Tujuannya adalah Taiwan, Hongkong dan Singapura. Di Kecamatan Watumalang, banyak yang bekerja di luar negeri lebih dari 10 tahun, bahkan ada yang sampai 20 tahun. Mereka terus perpanjang kontrak atau apabila di suatu negara ada batasan maksimal bekerja maksimal 10 tahun seperti di Taiwan, maka akan pindah ke negara yang lain. Sedangkan yang masyarakatnya banyak bekerja di luar kota/propinsi adalah Desa Mutisari dan Kalidesel        4.   TNI/Polri. Pemilih dengan C Pemberitahuan yang tidak terkonfirmasi dengan kategori TNI/POLRI adalah pemilih yang berubah status dari bukan TNI/POLRI menjadi TNI/POLRI sejak DPT ditetapkan. Jumlah totalnya 20 orang pemilih. Tidak Dikenal Pemilih dengan C Pemberitahuan yang  tidak tidak terkonfirmasi dengan kategori tidak dikenal adalah pemilih yang bukan penduduk setempat atau tidak dikenali oleh PPDP atau PPS,  pemilih yang alamatnya harusnya tidak di TPS tersebut, ada pemilih ganda. Jumlah total pemilih yang tidak kenal sebanyak 805 orang, tertinggi ada di Kecamatan Sapuran (120), Kaliwiro (100) dan Kertek (91). Tugas Belajar Pemilih dengan C Pemeritahuan yang tidak terkonfirmasi dengan kategori tugas belajar adalah pemilih yang sedang sekolah/ kuliah / tugas belajar di luar kota/propinsi/luar negeri yang tidak dapat ditemui. C Pemberitahuan tetap disimpan di PPS sehingga apabila yang bersangkutan pulang bisa langsung diberikan, apabila tidak ada pihak keluarganya yang bisa dititipkan. Jumlah total pemilih yang ada di DPT yang sedang tugas belajar total 2.272 pemilih dengan 3 kecamatan teratas adalah Kecamatan Kepil (291), Sapuran (228) dan Kalikajar (227). Jumlah DPT Pilkada Wonosobo 2020 sejumlah 681.161 pemilih. Melalui Aplikasi Si Rika, diketahui jumlah C Pemberitahuan yang terkonfirmasi atau tersampaikan sebanyak 608.386 pemilih ( 89% dari jumlah DPT). Yang tidak terkonfirmasi atau tidak tersampaikan sebanyak 72.775 pemilih ( 11% dari jumlah DPT). Pemilih yang yang ada di Daftar Pemilih Tetap (DPT)  dan masih ber KTP Wonosobo, tapi secara fisik tidak ada di rumah paling besar jumlahnya, yaitu 64.515 (9,4% dari Jumlah DPT). Ini jumlah yang signifikan dan patut diperhitungkan Untuk mengupayakan supaya DPT bersih dan partisipasi tinggi salah satu yang kami harapkan adalah regulasi/payung hukum yang pasti dan jelas terkait untuk mencoret atau membersihkan pemilih yang tidak diketahui keberadaannya dengan kasus-kasus tertentu untuk bisa. Hal itu tidak berarti menghilangkan hak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya karena jika yang bersangkutan pulang bisa menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan KTP-el.  Selain itu perlu kesadaran bagi masyarakat dan sinergitas dari berbagai pihak terkait tertib administrasi bagi warga yang sudah pindah domisili baik itu ke luar kota, propinsi atau ke luar negeri untuk segera mengurus administrasi kependudukan di tempat yang baru dan segera mencabut dari alamat asal agar bisa ditindaklanjuti dalam proses pemutakhiran daftar pemilih di pemilu berikutnya. Dan  seandainya mereka hilang dari DPT maka DPT Kabupaten Wonosobo akan lebih bersih dan Valid dan partisipasi mayarakat Pilkada Wonsobo yang sekarang di angka 66% menjadi 75,4%.


Selengkapnya